apa erti zuhud???

Pabila berbicara ttg kezuhudan sering kali kita membayangkan sifat para rasul dan para sahabat. Jarang sekali merasakan kepentingan kezuhudan pada hidup kita sebagai manusia muslim. Mungkin kerana persepsi kita yang mewujudkan bayangan kezuhudan yang sangat kompleks dan serius sehinggakan kita merasakan mustahil untuk kita capai. Jadi, kita mencari alasan bahawa kezuhudan yang tinggi tidak sinonim dengan kita pada zaman ini.  Hanya para Nabi SAW dan para sahabat shj yang mampu melakukannya. Akhirnya kita lalai dalam mencintai kezuhudan


Tetapi bukankah sebenarnya kezuhudan itu penting. Kezuhudanlah yang melahirkan cinta pada kematian, kerinduan pada akhirat, keinginan pada syahid; buah kepada penghayatan iman dan syahadah. (Subhanallah..apa aku sebegitu?) Begitulah keajaiban iman dan taqwa yang telah ditonjolkan oleh generasi sebelum ini; generasi zaman nubuwwah dan generasi zaman khulafa' . Malah kecintaan inilah yang melahirkan kesukaan ALLAH dan keredhaan ALLAH pada kita. Ttp bagaimana dapat kita mewujudkan kezuhudan dalam diri kita jika kita tidak mengenalinya????? Pada pandanganku hal ini dapat dinilai dan dihayati memlalui hadith dibawah   


كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يَقُولُ إِذَا أَمْسَيْتَ فَلاَ تَنْتَظِرْ الصَّبَاحَ وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلاَ تَنْتَظِرْ الْمَسَاءَ وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ وَمِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ
“Jadilah engkau di dunia seperti orang asing atau orang yang sedang menempuh perjalanan.” Ibn Umar berkata, “jika engkau ada di sore hari, jangan menunggu pagi dan jika berada di pagi hari, jangan menunggu sore. Manfaatkan masa sehatmu untuk masa sakitmu dan masa hidupmu untuk kematianmu.” 
 (HR al-Bukhari, at-Tirmidzi, Ibn Majah dan Ahmad).


Imam al-Bukhari meriwayatkan hadis ini berturut-turut dari: Ali bin Abdullah, Muhammad bin Abdurrahman Abu al-Mundzir ath-Thafawi, Sulaiman al-A’masy, Mujahid dan Abdullah bin Umar, dari Rasulullah saw.
Ahmad meriwayatkannya berturut-turut dari: Waki, Sufyan, Laits bin Abi Salim, Abu Mu’awiyah dan Laits.
Ibn Majah meriwayatkannya dari Yahya bin Habib bin ‘Arabi, dari Hamad bin Zaid, dari Laits.
At-Tirmidzi meriwayatkannya dari Mahmud bin Ghaylan, dari Abu Ahmad, dari Sufyan, dari Laits; lalu Laits bin Abi Salim, dari Mujahid, dari Abdullah bin Umar. Dalam riwayat Ahmad, Ibn Majah dan at-Tirmidzi sesudah lafal “‘âbir as-sabîl” terdapat tambahan: “wa ‘udda nafsaka fî ahli al-qubûr (hitunglah dirimu termasuk ahli kubur.”

Makna Hadis
Dalam hadis ini Rasul memberi perumpamaan bagaimana seharusnya kita memposisikan diri di dunia: seakan kita adalah orang asing dan seperti orang yang sedang menempuh perjalanan.
Ath-Thayyibi, sebagaimana dikutip oleh al-Hafizh Ibn Hajar di dalam Fath al-Bârî, menjelaskan, “Orang yang berjalan di dunia diserupakan dengan orang asing yang tidak memiliki tempat tinggal. Kemudian Beliau mengungkapkan perumpamaan yang lebih tinggi: diserupakan dengan orang yang sedang menempuh perjalanan. Sebab, orang asing kadang kala tinggal di negeri asing. Berbeda dengan orang yang menempuh perjalanan menuju negeri yang jauh; sepanjang perjalanan itu terdapat lembah-lembah yang membinasakan, gurun-gurun yang mencelakakan dan begal jalanan. Orang yang demikian tidak akan tinggal walaupun sejenak. Oleh karena itu, Ibn Umar langsung menimpali dengan kata-kata, “jika engkau ada di sore hari jangan menunggu pagi…”
Lalu sabda Rasul, “wa ‘udda nafsaka fî ahli al-qabûr, maknanya adalah, “Teruslah berjalan dan jangan engkau futur. Sesungguhnya jika engkau lemah atau lalai maka engkau akan terhenti di tengah jalan (tidak sampai tujuan) dan binasa di lembah-lembah itu.”
Imam an-Nawawi di dalam Syarh al-Arba’în an-Nawawiyah berkata, makna hadis ini adalah, “Janganlah engkau cenderung pada dunia dan menjadikan dunia sebagai tempat menetap. Jangan berbicara kepada dirimu sendiri bahwa engkau akan menetap di dunia serta jangan mempertautkan diri dengan dunia sebagaimana orang asing tidak akan menautkan diri dengan selain tanah airnya.
Hadis ini merupakan isyarat untuk membangkitkan sikap zuhud di dunia dan mengambil bagian harta sekadar cukup untuk bekal (tidak berlebih). Sebagaimana seorang musafir tidak membutuhkan lebih dari apa yang bisa mengantarkannya pada tujuan perjalanannya, demikian pula seorang Mukmin di dunia; ia tidak akan membutuhkan lebih dari apa yang bisa mengantarkannya pada tujuan (akhirat). Hadis ini merupakan pokok dalam mendorong untuk mengambil jarak dengan dunia, bersikap zuhud di dalamnya, memandang remeh dunia dan bersikap qanâ’ah dengan bagian harta sekadar cukup untuk bekal hidup.
Hendaknya kita selalu mengingat pesan Nabi saw ini. Hendaknya setiap kita selalu merasa asing dengan dunia. Ia selalu ingat, bukan dunia ini tempat tinggal dia karena di dunia ini ia adalah orang asing. Ia tidak akan membiarkan hatinya terjerat oleh kecintaan pada tempat asing itu sehingga melupakan tanah air hakikinya. Hatinya tidak cenderung pada dunia. Ia tidak akan menikmati keintiman dengan dunia. Ia tidak akan bermesra-mesra dengan dunia. Hatinya tidak akan dia biarkan tertambat pada dunia sehingga merasa berat untuk menjauhi dan meninggalkannya. Sebaliknya, dunia baginya adalah sesuatu yang jauh lagi asing. Karena itu, hatinya ringan untuk melepas dunia itu dan tidak berat hati untuk meninggalkannya.
Hendaknya kita pun selalu ingat bahwa kita di dunia ini hanyalah ‘numpang lewat’. Fase kehidupan dunia ini hanyalah perjalanan untuk menuju ‘tanah air’ yang hakiki, yaitu akhirat. Sebagai orang yang sedang lewat saja, maka ia tidak akan berhenti berlama-lama, apalagi menetap. Ia pun tidak akan sibuk mengumpulkan harta dan perbekalan karena itu bisa memalingkannya dari perjalanan atau setidaknya menundanya. Selain itu, harta dan perbekalan yang terlalu banyak akan memberatkan dan menjadi beban di perjalanan yang bisa-bisa justru mencelakakannya. Sebaliknya, ia hanya mengambil harta dan perbekalan secukupnya saja, tidak berlebih. Itu pun dilakukan sambil terus berjalan. Sebagai orang yang sedang lewat, adalah tersesat jika ia justru menjadikan tempat singgah dan jalan yang ia lalui sebagai tujuan itu sendiri dan memalingkannya dari tempat tujuan yang hakiki.
Seorang Mukmin tidak selayaknya menjadi pecinta dunia, pemburu harta dan pencari kelezatan dunia. Sebaliknya. seorang Mukmin akan bersikap zuhud terhadap dunia dan qanâ’ah dengan karunia Allah yang ia terima. Dunia baginya adalah sesuatu yang asing dan tidak berharga. Ia jadikan dunia hanya sebagai jalan, wasilah dan sarana untuk mencapai tempat tujuan, yaitu akhirat. Akhiratlah yang selalu menjadi tambatan hatinya dan ujung angan-angannya. Wa mâ tawfîqi illâ billâh. [Yahya Abdurrahman]


Segalanya boleh bermula sedikit demi sedikit. Dan bukanlah kita perlu mencapai sebagaimana generasi terdahulu. Mereka hendaklah kita jadikan teladan. Selebihnya bergantung pada usaha kita dan kesanggupan kita. Semailah kezuhudan setakat yang termampu kerana buahnya dalam kehidupan sangatlah menyenangkan. Pabila ikatan hati pada dunia sudah longgar (mungkin susah untuk dileraikan sepenuhnya..), maka kehidupan akhirat akan lebih ditunggu-tunggu..isnyaALLAH..wallahua'lam.

 

Comments

Popular posts from this blog

Pahit bak hempedu..

keunikan suku Quraisy

Ama Zilna